KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin segala
puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kekuatan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini pada waktunya dengan secara
maksimal.
Shalawat dan salam tak lupa juga
selalu kami lantunkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Dengan beliaulah
kita dapat berjalan dari zaman yang penuh dengan kebathilan menuju zaman yang
penuh nuansa agama yang indah.
Makalah NIKAH ini dapat kami susun
dengan sangat ringkas dan padat, tidak hanya itu makalah ini tidak saja dalam
memenuhi mata kuliah tapi secara garis besar lebih mengarah kepada peningkatan
ilmu praktek dan pengalaman ilmu dasar dari ajaran islam yakni kefiqihan.dalam
pembelajaran nikah ini kita dapat mengetahui dan mempelajari apa saja yang
diperlukan nanti, khususnya bagi para pembaca sekalian. Dan hanya Allah yang
mampu memberikan segala petunjuk dan hidayahnya.
Maaf sebesar-besarnya kalau terdapat
kekurangan disana-sini di karenakan keterbatasan ilmu yang kami miliki. Semoga
dengan secuil ilmu kami dapat membantu kalian dan bermanfaat.
Bandar
Lampung, September 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang.
Pada pembahasan tentang hukum islam
khususnya nikah, kita semua pasti akan terpikirkan namanya sebuah keindahan
pernikahan yang sangat indah tiada tara. Karena di saat menikah akan ada
seseorang yang akan menemaninya hingga sampai kapanpun, walaupun sekarang ini
tengah marak sebuah kata perceraian.
Dari situ kita dapat memahami
sedikit dari anjuran sang pencipta akan hidup bersama sang pendamping dengan
batasan-batasan yang telah ditentukan dan ketentuan-ketentuan lainya. Jadi saat
kita merasakan akan keraguan akan menikah itu apa nantinya seperti banyaknya
yang lain, kita tak perlu ragu lagi akan hal itu.
Dalam islam kita mengetahui nikah
itu sangat di anjurkan dan mempunyai tujuan tersendiri. Di saat itu pula kita
harus ingat akan setiap ketentuan itu mempunyai batasan-batasan yang harus kita
jalani dengan perasaan tulus. Seperti apa hukumnya, tujuannya, juga tata cara
lainnya dan lain sebagainya.
I.2 Rumusan masalah
Rumusan
msalah dalam makalah tersebut antara lain:
- Apa pengertian nikah dan rukun nikah?
- Apa pengertian peminangan?
- Apa sajakah kautamaan menikah ?
- Siapa sajakah wanita yang diharamkan untuk menikah ?
I.3 Tujuan masalah
Tujuan
dalam makalah ini adalah agar kita sebagai uamt muslim mengetahui apa artinya
menikah dalam ajaran islam serta rukun-rukun dalan menikah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Definisi
Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang
pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’
(bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain
yang merupakan maslahat nikah.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara
sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
cõyzr&ur
Nà6ZÏB
$¸)»sVÏiB
$ZàÎ=xî
ÇËÊÈ
Artinya :
Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian
yang kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing
dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut,
karena Allah Subhanahu wa Ta'ala bersabda:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qèù÷rr&
Ïqà)ãèø9$$Î/
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388].
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
2. Hukum Pernikahan
Adapun hukum-nukum pernikahan dalam
islam antara lain:
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
, maka bahwa dapat dijelaskan bahwa
hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang
menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya.
Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka
dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab,
jika mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih
besar pada orang lain.
RUKUN DAN SYARAT SAH
NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul
adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya
mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3.
Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4.
Adanya wali:
Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah:
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah:
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat
digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum,
sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula.
B. HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.
Allah berfirman:
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)
4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan
struktur sosial yang jelas dan adil.v
2. Dengan nikah,
akan terangkat status dan derajat kaum wanita.v
3. Dengan nikah
akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.v
4. Dengan nikah agama akan terpelihara.v
5. Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang
mampu memakmuram bumi.v
6.
Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak
hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan
kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan
berikut ini:
- Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian
yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2.
Memperbanyak
keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang
lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah
kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
- Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
@è% úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäót ô`ÏB ôMÏdÌ»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4
y7Ï9ºs 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt ÇÌÉÈ
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat".
4.
Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara
dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan
qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan
dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan
ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat
dan kewajiban yang harus dipenuhi:
- Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
- Adanya Ijab Qabul.
- Adanya Mahar.
- Adanya Wali.
- Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut
sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan
Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk
menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
1.
Nikah Syighar
Adalah
seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak
perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut
menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepadanya,
baik ketika adanya maskawin maupun tanpa maskawin dalam kedua pernikahan
tersebut
Para ulama
telah sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka bereda
pendapat mengenai keabsahan nikah syighar. Jumhur ulama berpendapat
nikah syighar tidak sah, berdasarkan dalil:
1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)
1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)
2. Hadist
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahuanhu, dia berkata “Rasulullah
shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar” Abu Hurairah
radiallahuanhu berkata “Nikah syighar bekata kepada laki-laki lain,
‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan
menikahkan kamu dengan anak perempuanku’ ” Atau dia mengatakan “Nikahkanlah
aku dengan saudara perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu
dengan saudara perempuanku“(HR Muslim, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
3. Hadits
dari Al Araj, dia berkata : Al Abbas bin Abdullah bin Abbas pernah menikahkan
Abdurrahman dengan anak perempuannya, dan sebaliknya Abdurrahman juga
menikahkan Al Abbas dengan anak perempuannya. Dalam kedua pernikahan itu
keduanya membayar maskawin. Setelah mendengar pernikahan ini, Mu’awiyah menulis
surat kepada Marwandan menyuruhnya untuk menceraikan pernikahan itu. Dalam
surat itu Mu’awiyah berkata, “ini mereupakan nikah syighar yang
dilarang oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam” (HR Abu Dawud)
4. Sabda
Nabi Shallallahu alayhi wasalam:
“Barang
siapa mensyaratkan sesuatu yang tidak terdapat dalam kitab Allah (al-Qur’an),
maka ia tidak sah, sekalipun ia mensyaratkan 100 syarat. Syarat dari Allah itu
lebih haq dan lebih kuat“(HR Bukhari dan Muslim)
5. yang
menyebabkan pernikahan ini tidak sah adanya persyaratan yang mengharuskan tukar
menukar (anak atau saudara perempuan). Di dalam syighar terdapat
suatu kekejian yang sangat besar, yaitu adanya pemaksaan terhadap perempuan
untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Permasalahan ini
menyimpulkan anjuran kepada para wali agar memperhatikan perasaan anak-anak
perempuannya, karena perbuatan ini dapat menzalimi mereka. Disamping itu
pernikahan ini juga menghalangi mereka dari kemungkinan mendapatkan mahar yang
seyogyanya. Kasus seperti ini sering terjadi dikalangan orang-orang yang
mempraktekkan model pernikahan seperti ini. Pernikahansyighar juga
sering menimbulkan perselisihan dan persengketaan. Apa yang disebutkan diatas
merupakan balasan dari Allh didunia bagi orang-orang yang tidak melaksanakan
aturan-Nya.
2.
Nikah Muhallil
Nikah
muhallil adalah seorang laki-laki (perantara) yang menikahi seorang perempuan
yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tiga kali, (setelah menikahi) kemudian
menceraikannya dengan tujuan agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali.
Nikah ini (muhallil)
termasuk dosa besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara dan
diperantarai dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah. Dalil yang melarang
nikah muhallil:
1. Dari Ibnu
Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: “Rasulullah melaknat al-Muhallil
(laki-laki yang menikahi perempuan dan menceraikannya) dan muhallalah(orang
yang menyryu muhallil)“(HR Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad).
Jumhur ulama
seperti Mali, Syafi’i -dalam salah satu pendapatnya-, Ahmad, Al laits,
at-Tsauri, Ibnu Mubarak dan ulama lainnya berpendapat nikah ini tidak sah. Umar
bin Khaththab, Abdullah bin Umar dan Ustman bin Affan juga berpendpat demikian.
(Lihat Al Bidayah Al Mujtahid2/120, Al Mughni 6/149)
a.
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dia berkata “Tidaklah dilaporkan
kepadaku mengeni seorang muhallil dan muhallalah melainkan aku akan merajam
keduanya“(HR Abdurrazaq dan Sa’id bin Mansur).
b. Ibnu Umar
pernah ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita yang sudah dicerai
sebanyak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat
menikahinya kembali. ibnu Umar menjawab : “perbuatan itu adalah zina“(HR
Abdurrazaq).
3.
Nikah Mut’ah
Adalah
seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk waktu tertentu -sehari,
dua hari atau lebih- dengan memberikan imbalan kepada pihak perempuan
berupa harta atau lainnya.
Nikah mut’ah pernah
diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudia dihapus oleh
Allah melalaui sabda Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah
mengharamkan nikah mut’ahsamapi hari kaiamat.
Terdapat
perbedaan mengenai hadits-hadits yang menjelaskan tentang informasi waktu
dihapuskannya nikah mut’ah.
Diantara
hadits-hadits shahih yang menjelaskannya adalah:
1.
Nikah mut’ah dihapus pada saat perang Khaibar
Diriwayatkand
ari Ali bahwa dia pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi
shallallahu alayhi wasalam telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan
memakan daging keledai piaraan pada waktu perang khaibar ” (HR Bukhari
dan Muslim).
Setelah itu
Nabi shallallahu alayhi wasalam memberi keringanan lagi dengan membolehkan
nikah mut’ah. hanya saja informasi tentang keringanan ini tidak sampai kepada
Ali bin abi Thalib, sehingga dia melandaskan pendapatnya berdasarkan apa yang
pernah dia dengar dari Rasulullah shallallahu alayhi wasalam tentang
diharamkannya nikah mut’ah pada peristiwa khaibar.
2.
Nikah Mut’ah dihapus pada tahun penaklukan kota Mekah.
Diriwayatkan
dari Ar-Rabi’ bin Subrahbahwa ayahnya, Subrah pernah berperang bersama
Rasulullah shallallahu alayhi wasalam pada saat penaklukan kota Mekah. Dia
berkata: “Kami tinggal diMekah selama lima belas hari, lalu Rasulullah
shallallahu alayhi wasalam membolehkan kami menikah secara mut’ah.
Kemudian aku menikah secara mut’ah dengan seorang gadis dan aku tidak keluar
(berpisah dengannya) sampai Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarangnya“(HR
Muslim).
dalam
Riwayat lain disebutkan “….wanita-wanita yang kami nikahi secara mut’ah itu bersama
kami slema tiga hari, kemudia Rasulullah memerintahkan kami agar mencerai
mereka” (HR Muslim dan Baihaqi).
Dalam
riwayat lain disebutkan dengan redaksi “Rasulullah memerintahkan kami
menikah secara mut’ah pada tahun penaklukan kota Mekah ketiak kami memasuki
kota Mekah dan kami tidak keluar dari kota Mekah sampai Nabi shallallahu alayhi
wasalam melarangnya” (HR Muslim).
3.
Nikah Muta’ah dihapus pada tahun Authas
Diriwayatkan
dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata “Rasulullah memberi kelonggaran untuk
nikah mut’ah selaam tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekah)
kemudia beliau melarangnya” (HR Muslim, Albaihaqi dan Ibnu Hibban).
Pernikahan
tahun ini (Authas) adalah pengharaman secara permanen sampai
hari kiamat.
4. Nikah
Sirri
Pernikahan
yang tidak diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada
hakiktnya ini adalah zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.
Al-qur’an
dan hadits telah menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah
adanya wali. Pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan.
3.
Khitbah (
peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk
menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak
dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu
diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ
الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang
wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si
wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no.
5144)
Definisi Peminangan
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya.
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya.
Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun
dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas
mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan
pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan
syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua
calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan
yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat
bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan
orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk
dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan
bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau
pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki
dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan
(khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di
dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa
ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu
bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”.
Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah
kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan
Nasa’i).
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis
Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan
terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah
untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an
maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak
terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam
Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini
mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan
(khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam
peminangan itu.
Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan
sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.
Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:”
melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah
habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang
dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi
wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada
waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan
bahasa terus terang tadi.
Hal-Hal yang Berkaitan
dengan Peminangan.
1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.
1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses
peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih
tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk
diperlihatkan.
2. Peminangan Terhadap
Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang
terhadap seseorang yang telah dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan
bahwa peminangan kedua, yang datang setelah pinangan yang pertama, tidak
diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:
* Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang
dan menyetujui pinangan itu secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada
walinya untuk menerima pinangan itu.
* Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
* Peminang pertama belum membatalkan pinangan.
* Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
* Peminang pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi,”
Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan janganlah kalian
meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan
pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah
mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam menentukan
keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama
yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini
berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang
sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu
terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar
bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat
landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam yang mengajarkan solidaritas.
Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam
mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan silaturrahim terhadap
peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang dipinang.
2. Orang-Orang yang
Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi
merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk
dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, ada syarat agar
pinangan diperbolehkan antara lain:
* Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
* Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa ‘Iddah
* Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa ‘Iddah
3. Batas-Batas yang
Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
* Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih
yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran
kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
* Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
* Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
* Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
* Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
* Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
* Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
* Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
* Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
4. Waktu dan Syarat
Melihat Pinangan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon
pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum
pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya.
Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik dengan izin atau
tidak.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat
pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak
menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.
Yang perlu diperhatikan oleh wali, Ketika wali si
wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak
menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan
perkara berikut ini:
- Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya:
“Apabila datang kepada kalian
(para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang
wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita
kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2.
Meminta pendapat
putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah
dengan diamnya karena biasanya ia malu.
Penyebab
haramnya sebuah pernikahan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh
laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan
dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi
ibumu, anakmu, saudaramu, sepupu dari bapak, sepupu dari ibu, anak saudara
perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara
perempuan.”:
§ Ibu
§ Nenek dari ibu maupun bapak
§ Anak perempuan & keturunannya
§ Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
§ Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua anak
saudara perempuan
§ Sepupu dari bapak (saudara bapak)
§ Sepupu dari ibu (saudara ibu)
§ Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan
ialah:
§ Ibu susuan
§ Nenek dari saudara ibu susuan
§ Saudara perempuan susuan
§ Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
§ Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan
§ Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
§ Ibu mertua
§ Ibu tiri
§ Nenek tiri
§ Menantu perempuan
§ Anak tiri perempuan dan keturunannya
§ Adik ipar perempuan dan keturunannya
§ Sepupu dari saudara istri
§ Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar