BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan di dunia ini kita berpedoman
kepada Al-Qur’an dan Hadits. Pada Al-Qur’an semua wahyu yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW baik dengan cara inspiratif, diajak bicara langsung oleh ALLAH
lewat tabir, melalui penglihatan di waktu tidur ataupun dari utusan ALLAH seperti
malaikat jibril adalah mutlak. Apapun yang tertulis didalam Al-Qur’an itu
bersifat abadi dan tidak bisa dirubah karena Al-Qur’an sebagai penyempurna
kitab-kitab terdahulu. Jadi apa yang terdapat didalam Al-Qur’an saat ini begitu
jugalah yang terdapat pada masa nabi dan para rasul.
Sedangkan hadits adalah segala apa yang
diberitakan dari nabi Muhammad Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau
berupa pembiasaan atas perbuatan sahabatnya. Karena hadits ini ada yang bisa
diterima dan ditolak oleh para ulama maka dari itu Ilmu Hadits sangat
diperlukan agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang
mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan
Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan
gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara
lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan
kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang
memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas.
Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan
berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu,
wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum
dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang
praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas.
Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun
terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa
lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan
sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan
perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah
yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai
bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan
inilah yang kemudian disebut dengan hadits.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan dua rumusan
masalah, yaitu: .
1.
Periode-periode
tentang perkembangan Ilmu hadits?
2. Bagaimanakah Sejarah hadis
pada periode Rasulullah?
3. Bagaimanakah Sejarah hadis pada periode Sahabat?
4.
Bagaimanakah Sejarah hadits pada periode Tabi’in?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.
Untuk mengetahui perkembangan hadits?
2.
Untuk mengetahui hadits pada masa rasulallah?
3.
Untuk mengetahui penulisan hadits pada masa sahabat?
4.
Untuk mengetahui penukisan hadits pada masa tabi’in?
Adapun kegunaan dari penelitan ini adalah diharapkan
agar para pelajar mampu mengkaji tentang periwayatan hadis, baik pada masa
Rasulullah saw maupun pada masa Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Periwayatan Hadis Masa Nabi
Muhammad SAW
Periode
ini disebut Ashr AL-Wahyi At-taqwin(masa turun nya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam ).Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda(aqwal),af’al,
dan taqrir nabi yang berfumgsi menerangkan al-quran untuk menegakkan syariat
islam dan membentuk masyarakat islam.[1]
Nabi
dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan
dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis
menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas
beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan
disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh
sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani
beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban
menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik
ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat
antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar
di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk
memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini
terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai
berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan
tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila,
tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi.
Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau
berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang
tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak
sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang
sempat bertemu dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris menyatakan
ا
تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما
ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا
ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)
Saya (Malik bin al-Huwayris) dalam satu
rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama
dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau
melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda;
“Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan
lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:
ليس
كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ
نؤا يكذ
بؤ
ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب
Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw.
(Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan
tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan
(terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis
Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan
al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah
seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima
melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi
kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak
langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah,
pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat.
Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain
atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke
daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan
para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan
baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal,
memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan
sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa Nabi,
bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan
hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya:
a. ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M),
shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits
tentang hukum diyat, hukum keluarga, dll
c. Anas bin Malik
d. Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e. Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f. Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g. Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh
beberapa cara, yaitu :
Pertama,
melalui majelis al-‘ilm,
yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para
jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri
untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi
menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan
soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami
istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi
menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi
wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi
sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga
Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan
wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya
lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah
dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi
bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi
berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya,
“Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi
dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan
kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan
dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka
bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti
ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10
H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan
ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait
dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima,
melalui perbuatan langsung yang
disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang
berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar
dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan
bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi
menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum tersebut, dan ternyata di
dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش
“Tidak
termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Secara
resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur
antara hadits dan Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis diatasnya
dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk
membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk
menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang perintah menulisnya. Diantara hadits
yang melarang penulisannya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :
“Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari padaku
selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah
juga banyak sekali, diantaranya ialah :
Dari
Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan
hadits Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah
maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim
tersebut, maka Nabi bersabda :
عل حفظك بيمينكاستعن
Bantulah hafalanmu dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas
para ulama berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat bahwa hadits yang
melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang membolehkannya.
Lebih dari itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri. Bahkan
semua hadis larangan penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan
alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan
diperintahkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah
sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan
dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan
pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang
seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan
barat, surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits juga. Hal ini
sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan
hadits dikalangan sahabat.
2.2 Periwayatan Hadis pada Masa Khulafaur Rasyidin
Periode
ini disebut Ashr –at-tassabut wa al-iqlal min al-riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwaqyat).Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat
lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi
secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi
pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi
dalam seluruh aspek kehidupan umat.[2]
kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan
sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu
Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin
al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan
‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini dalam sejarah
dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut
dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa
al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang.
Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut.
Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan
(al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian
sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti
mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara
utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri
dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin
tentang periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut
muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan
sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan
hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini
didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk
seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu
Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar
menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang
memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya
kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa
nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar
ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti
periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat
hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena
Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi
bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang
sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai
dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu
harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit
meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat
Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c)
jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Ø Umar bin Khatab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan
hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan
kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay,
setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah
mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut.
Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu
telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam
periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi
memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama
sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak
tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat
lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat
terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan
‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau
setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i,
sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan
oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga
menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits
dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang
tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa
‘Utsman ibn ‘Affan,
periwayatan hadits diperlonggar.
Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis
tidak jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya.
Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada
para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah
mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini
menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap
hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis
dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat
menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan
hadits : pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’
al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud
kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat
langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat,
bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan
pertemuan langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan penelitian
dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para
sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali
bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para
sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam,
diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa
pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain
dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba
menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu
bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku
punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian
yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan
kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan
sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran
‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau
menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab
Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para
Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan
hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang
pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan
untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan
suatu hadits, yaitu :
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW.
Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal
lafazh asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat
islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam
terpecah menjadi tiga golongan :
1. Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi
pengkultusan terhadap ‘Ali.
2. Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim)
dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi
kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3. Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada
yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau
melibatkan diri dalam kancah konflik.
2.3 Periwayatan Hadits Pada Masa
Tabi’in atau setelah masa
Khulafaur rasyidin
Periode
ini disebut Ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar (masa berkembang dan meluas
nya periwayatan hadis ).Pada masa ini ,daerah islam sudah meluas ,yakni ke
negri syam ,irak,mesir,samarkhan ,bahkan pada tahun 93h ,meluas sampai ke
spanyol.Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah
tersebut,terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintah dan penyebaran
ilmu hadis.[3]
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup
berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu
berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini,
Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’
al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadits telah
menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para
tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga
berimplikasi pada tersebarnya hadits keberbagai wilayah islam. Oleh sebab itu,
masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (‘ashr intisyar
al-riwayah), yaitu masa di mana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah
tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai
tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas.
Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang
baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekah.
Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan
hadits yang ada pada mereka, sehingga hadits-hadits tersebar diberbagai daerah.
Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu
Zahw, yaitu :
1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn
‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn
Musayyib, ‘Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dll.
2. Mekah, dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat : Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah
ibn Sa’id, dll. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain : Mujahid ibn Jabr,
‘Ikramah Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id ibn
Abi Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn
al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,
‘Ubadah ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris, Qabishah ibn
Zuaib, dan Makhul ibn Abi Muslim.
5. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Amr al-Ash,
‘Uqbah ibn Amir, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Yazid ibn Abi Hubaib, Abu
Bashrah al-Ghifari, dll.
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada
yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus
dihafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan
amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini
saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau
terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat ini muncul kekeliruan
periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
2.4 Pengkodifikasian hadis pada abad 2 hingga sekarang
A. Abad 2 H (Penulisan dan Pembukuan Hadist secara Resmi)
Pada periode ini Hadist-hadist Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan
secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn
Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di
dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi,hal ini
didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya
hadist dan wafatnya para ulama hadist. Para sahabat telah berpencar di berbagai
daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka
belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan
takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami
masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya
memerlukan waktu relatif lebih pendek. Yang dimaksud dengan periodeisasi
penghimpunan hadist disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami
dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadist, sejak Rasulullah saw masih
hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadist yang dapat disaksikan sekarang ini.
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke
daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang
keislaman itu sendiri adalah hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan
hadist-hadist tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang
umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang
didasarkan pada hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di
kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan
sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam
itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan
yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai
oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai
gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka
jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah
diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadist begitu cepat
merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan
instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadist yang ada pada sahabat dan
seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk
mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah, hadist yang dipercaya kebenarannya ialah
hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan
diri dari dosa dan takwa.
Jika kita teliti kemampuan ilmiah
umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan
terhadap hadist-hadist Nabi, Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para
sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut
ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan
kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya
dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti
Nabi lakukan terhadap mereka.Kondisi seperti itu secara tidak langsung
mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari agama. Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang
dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena
mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis
baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz. Pendapat ini tentunya tidak
mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw
yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja.
Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu sendiri bahwa segala sesuatu
yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang
menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan
pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik
merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa ulama awal
di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun
berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian
fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan,
perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta
fatwa ulama.
B. Abad ke 3 H (Pemurnian dan Penyempurnaan
Penulisan Hadist)
Menurut ahli hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan
keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena
hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti
sumber-sumber yang menunjukkan bahwa hadist sudah dibukukan pada masa yang
lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada
masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim,
khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat
dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru
pada masa akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadist berlangsung sejak pemerintahan
al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti
Abbasiyah. Ulama-ulama hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist,
terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan
pemalsuan hadist yang semakin marak. Dalam setiap ajaran agama bagi para
pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri.
Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta
pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau
acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2
dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih
dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu
yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh
para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri
maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas
mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka
mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya.
Kegiatan pemalsuan hadist mengalami masa yang begitu lama, sejak dari
pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung
kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga
dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan
hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para
pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.
Ulama Mu'tazilah
tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras
terhadap ahli hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadist
serta menuduh ahli hadist bodoh dan dungu. Oleh sebab itu para ulama
berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadist dapat terus dipertahankan dan
diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadist yang telah masuk
ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa
dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para
ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadist
yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah
melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah
dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian hadist
yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para
sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'),
serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini adalah:
1.
Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadist Shahih,
sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Yang
termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
2.
Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai
hadist-hadist Shahih,juga dijumpai hadist yang berkualitas Dha'if dengan
syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam
kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan
Sunan ibn Majah.
3.
Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun
berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim
dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti huruf hijaiyah dan
lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis tersebut merupakan kebutuhan untuk
menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber atau murni dari Nabi SAW dengan
sanad dan perawi yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist
tersebut maka hadist tersebut dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah
sekaligus.
C. Abad 4 s/d 7 H (Pemeliharaan, Penertiban dan
Penambahan Dalam Penulisan Hadist)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan
membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak
bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara
mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya
sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang
di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid
al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa
Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan
anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya
sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu
membaca.
Pada masa setelah
sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad
ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan
diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada
saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada
al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7
akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama
hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana
pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa
sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah
1. Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
2. Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
3. Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
4. Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
5. Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.
Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist,
sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya.
Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan
menghimpun sanad danmatannya yang saling berhubungan
serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada
tersebut.
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini
memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1. Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan
sebagian dari matanhadist tertentu kemudian menjelaskan
seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang
berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari
kitab-kitab lainnya.
2. Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya,
dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist
tersebut dengan sanadnya sendiri.
3. Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang
memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat
dari keduanya.
4. Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat
dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
a)
Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
b)
Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
c)
Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.
D. Abad 7 H sampai sekarang ( Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan Hadist)
Berawal dari
penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah
yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil
menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud
tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar
daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan
Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam,
setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia
Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah
abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani
Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada
disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki.
Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah),
maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H,
Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan
kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara
bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M
sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa
Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada
pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka
periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah. Sedikit
sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara
hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di
antaranya:
v Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia
berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H
/ 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist.
v Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H /
1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab
yang berkaitan dengan hadist.
v Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497
M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000
majelis dan menulis sejumlah kitab.
Pada masa ini, para ulama hadist pada umumnya
mempelajari kitab-kitab hadist yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya
dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah,
Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak
terlepas dari pengkaji hadist pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi)
hadist tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru
dan tidak hanya menerima bahwa hadist tersebut shahih atau
tidakshahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar
untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadist tersebut beroperasi, yang
tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadist dari orang-orang
yang ingin menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang
membicarakan hal ihwal para rawi hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan
tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka
menerima hadist dari guru-guru mereka.
2.5 Pembagian Hadis
A. Dari segi Kualitas Rawi
a.Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi
yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat
dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita
yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat
mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang
dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad
SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan
hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan
tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan
sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang
yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah
yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa
sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat
dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut
:
1.Pewartaan yang di sampaikan
oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra,yakni warta yang
mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau pnglihatan sendiri.[4]
2.jumlah rawinya harus mencapai
kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta.Dengan
demikian,jumlah nya adalah relative,tidak ada batas tertentu.Menurut Abu
ath-Thayib,jumlah rawi nya empat orang ,Ashbab Asy-syafi’I menyatakan lima
orang ,dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluhatu empat puluh orang .
3.Adanya keseimbangan jumlah
antara rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikut
nya.
a. Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
Ibnu Hajar
Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu
al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911
H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad
Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju
al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."
Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis
mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut,
namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas
ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda.
Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud
yang berbunyi :
Artinya :
"Rasulullah
SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa
salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita
tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita
mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau
memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis
mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir
menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir
maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir
lafzi dan mutawatir maknawi.
B. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir,tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir .Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis .[5]
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir,tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir .Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis .[5]
Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan
tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan
tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan
keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih
tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan
hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada
hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu
orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa
saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata
(dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir
sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada
pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk
hadis mutawatir.
Kata-kata
(dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan
perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para
sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan
demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal,
seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan
pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu
separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal
bukan berita.
Bila dua hadis
memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring
atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya
dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar
atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang
tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi
taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang
rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf
dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya
tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai
sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama
membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan
hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan
rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi
hadis sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih
dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih,
yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih
diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik.
Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis
hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya
dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis
perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya
hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang
berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu
suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi
2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul
ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu
maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam
hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun
demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua
hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat
hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau
ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis
maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh,
sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis
mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya
berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat
periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih,
sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang
tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud
ialah :
Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
Sebagaimana
telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima
hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh
diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah
dihukumi daif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang
ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
1. Melalui
majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membina para jemaah.
2. Dalam
suatu kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa
sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang
didapat itu kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang
belum sempat atau yang pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
3. Untuk
hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan
biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri,
Rasulullah menyampaikanlmelalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif
Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4. Melalui
hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga
hadits-hadits tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.
3.2 Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan
beberapa saran kepada pembaca:
1. Dalam
memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah
pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan
dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya
setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system
pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual
dan wawasan kependidikan bagi semua.
3. Semoga
hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis
atau penyusun sendiri. Amin yaa Rabbal Alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar