Jumat, 12 Juni 2015

makalah sejarah perkembangan hadits



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan di dunia ini kita berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Pada Al-Qur’an semua wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW baik dengan cara inspiratif, diajak bicara langsung oleh ALLAH lewat tabir, melalui penglihatan di waktu tidur ataupun dari utusan ALLAH seperti malaikat jibril adalah mutlak. Apapun yang tertulis didalam Al-Qur’an itu bersifat abadi dan tidak bisa dirubah karena Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Jadi apa yang terdapat didalam Al-Qur’an saat ini begitu jugalah yang terdapat pada masa nabi dan para rasul.
Sedangkan hadits adalah segala apa yang diberitakan dari nabi Muhammad Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa pembiasaan atas perbuatan sahabatnya. Karena hadits ini ada yang bisa diterima dan ditolak oleh para ulama maka dari itu Ilmu Hadits sangat diperlukan agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar.  
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan dua rumusan masalah, yaitu: .     

1.      Periode-periode tentang perkembangan Ilmu hadits?
2.      Bagaimanakah Sejarah hadis pada periode Rasulullah?
3.       Bagaimanakah Sejarah hadis pada periode Sahabat?
4.       Bagaimanakah Sejarah hadits pada periode Tabi’in?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan
             1.  Untuk mengetahui perkembangan hadits?
             2.  Untuk mengetahui hadits pada masa rasulallah?
             3.  Untuk mengetahui penulisan hadits pada masa sahabat?
             4.  Untuk mengetahui penukisan hadits pada masa tabi’in?

Adapun kegunaan dari penelitan ini adalah diharapkan agar para pelajar mampu mengkaji tentang periwayatan hadis, baik pada masa Rasulullah saw maupun pada masa Sahabat.















  BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Periode ini disebut Ashr AL-Wahyi At-taqwin(masa turun nya wahyu dan pembentukan masyarakat islam ).Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda(aqwal),af’al, dan taqrir nabi yang berfumgsi menerangkan al-quran untuk menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat islam.[1] 
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.  
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris menyatakan
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)

Saya  (Malik bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.

Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:

ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ
بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب


Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya:
a.      ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b.      Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dll
c.      Anas bin Malik
d.      Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e.      Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f.       Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g.      Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش       
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis diatasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang perintah menulisnya. Diantara hadits yang melarang penulisannya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
 عل حفظك بيمينكاستعن
Bantulah hafalanmu dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang membolehkannya. Lebih dari itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri. Bahkan semua hadis larangan penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat, surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan hadits dikalangan sahabat.

2.2  Periwayatan Hadis pada Masa Khulafaur Rasyidin
Periode ini disebut Ashr –at-tassabut wa al-iqlal min al-riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwaqyat).Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[2]
 kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.

Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya  kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Ø Umar bin Khatab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan   (b) agar perhatian masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan,
periwayatan hadits diperlonggar.

Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi  sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits : pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi tiga golongan :
1.    Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap ‘Ali.
2.    Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3.    Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.





2.3    Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in atau setelah masa Khulafaur rasyidin
Periode ini disebut Ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar (masa berkembang dan meluas nya periwayatan hadis ).Pada masa ini ,daerah islam sudah meluas ,yakni ke negri syam ,irak,mesir,samarkhan ,bahkan pada tahun 93h ,meluas sampai ke spanyol.Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut,terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu hadis.[3]
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadits keberbagai wilayah islam. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (‘ashr intisyar al-riwayah), yaitu masa di mana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadits yang ada pada mereka, sehingga hadits-hadits tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu :
1.    Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn Musayyib, ‘Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dll.
2.    Mekah, dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat : Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn Sa’id, dll. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain : Mujahid ibn Jabr, ‘Ikramah Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3.    Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id ibn Abi Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4.    Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubadah ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib, dan Makhul ibn Abi Muslim.
5.    Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Yazid ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah al-Ghifari, dll.
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.


2.4 Pengkodifikasian hadis pada abad 2 hingga sekarang
A.    Abad 2 H (Penulisan dan Pembukuan Hadist secara Resmi)
Pada periode ini Hadist-hadist Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi,hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadist. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek. Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadist disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadist, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadist yang dapat disaksikan sekarang ini.
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadist-hadist tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadist begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadist yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah, hadist yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadist-hadist Nabi, Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka.Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari agama. Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz. Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama.
B.     Abad ke 3 H (Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadist)
Menurut ahli hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa hadist sudah dibukukan pada masa yang lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadist berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist, terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist yang semakin marak. Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadist mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.                   
Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadist serta menuduh ahli hadist bodoh dan dungu. Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadist dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadist yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadist yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian hadist yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini adalah:
1.          Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadist Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
2.         Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadist-hadist Shahih,juga dijumpai hadist yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
3.         Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.

Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis tersebut merupakan kebutuhan untuk menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber atau murni dari Nabi SAW dengan sanad dan perawi yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist tersebut maka hadist tersebut dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah sekaligus.

C.    Abad 4 s/d 7 H (Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah
1.     Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
2.      Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
3.     Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
4.     Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
5.    Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.


Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad danmatannya yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1.       Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matanhadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
2.      Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri.
3.      Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
4.      Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
a)         Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
b)         Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
c)         Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.

D.    Abad 7 H sampai  sekarang ( Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan Hadist)
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah. Sedikit sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di antaranya:                                              
v  Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist.
v  Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
v  Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.
Pada masa ini, para ulama hadist pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadist yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadist pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadist tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa hadist tersebut shahih atau tidakshahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadist tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadist dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadist dari guru-guru mereka.

2.5 Pembagian Hadis
A. Dari segi Kualitas Rawi
a.Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut         :
1.Pewartaan yang di sampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra,yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau pnglihatan sendiri.[4]
2.jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta.Dengan demikian,jumlah nya adalah relative,tidak ada batas tertentu.Menurut Abu ath-Thayib,jumlah rawi nya empat orang ,Ashbab Asy-syafi’I menyatakan lima orang ,dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluhatu empat puluh orang .
3.Adanya keseimbangan jumlah antara rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikut nya.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah  saksi    yang            diperlukan       oleh     hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang            mendapatkan   gelar    Ulul    Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."


Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."

3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :

Artinya :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.





B. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir,tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir .Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis .[5]

Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."





B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS  
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang      rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.


Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.



Contoh hadis :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.

1. Hadis Sahih

Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."

3. Hadis Daif

Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.




BAB III
        PENUTUP

   3.1   Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
1.  Melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah.
2.  Dalam suatu kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau yang pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
3.  Untuk hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah menyampaikanlmelalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4.  Melalui hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga hadits-hadits tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.

3.2    Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1.  Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2.  Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
3.  Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau penyusun sendiri. Amin yaa Rabbal Alamiin.



[1] M.Agus solahudin,Agus suyadi,ulumul hadis (pustaka setia,bandung, 2008),h.34

[2] Ibid,h.35
[3] Ibid,h.36
[4] Ibid.h.130
[5] Ibid.h,133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar